A. Pengertian Agama, Golongan Masyarakat, dan Fungsi Agama
Menurut Hendropuspito, agama
adalah suatu jenis system social yang dibuat oleh penganut-penganutnya
yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayai dan
didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas
umumnya. Dalam kamus sosiologi, pengertian agama ada tiga macam, yaitu
(1) kepercayaan pada hal-hal yang spiritual; (2) perangkat kepercayaan
dan praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri;
(3) ideology mengenai hal-hal yang bersifat supranatural. Sementara itu,
Thomas F.O’Dea mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan
sarana-sarana supra-empiris untuk maksud-maksud non-empiris atau
supra-empiris.
E..B. Tylor dalam buku
perintisnya, primitive culture, yang diterbitkan pada tahun 1871. Dia
mendefinisikan agama sebagai “ kepercayaan terhadap adanya wujud-wujud
spiritual”, definisi dari tylor itu dikritik lebih jauh karena tampaknya
definisi itu berimplikasi bahwa sasaran sikap keagamaan selalu berupa
wujud personal, padahal bukti antropologik yang semakin banyak jumlahnya
menunjukan bahwa wujud spiritual pun sering dipahami sebagai kekuatan
impersonal.
Selanjutnya, golongan masyarakat
dapat diartikan sebagai penggolongan anggota-anggota masyarakat ke
dalam suatu kelompok yang mempunyai karakteristik yang sama atau
sejenis. Dalam kamus sosiologi dinyatakan sebagai kategori orang-orang
tertentu, dalam suatu masyarakat yang didasarkan pada cirri-ciri mental
tertentu.
Berdasarkan definisi di atas,
penggolongan masyarakat dapat dibuat berdasarkan cirri yang sama.
Misalnya, (1) penggolongan berdasarkan jenis kelamin adalah pria dan
wanita; (2) penggolongan berdasarkan usia adalah tua dan muda; (3)
penggolongan berdasarkan pendidikan adalah cendekia dan buta huruf; (4)
penggolongan berdasarkan pekerjaan adalah petani, nelayan, golongan
buruh, pengrajin, pegawai negeri, eksekutif, dan lain-lain. Menurut
Hendropuspito, meskipun tidak dapat dibuat berdasarkan kedudukan social
yang sama, seperti pada lapisan social, penggolongan ini pada dasarnya
untuk kepentingan pengamat social alam penelitian-penelitian terhadap
masyarakat.
Adapun yang dimaksud dengan
fungsi agama adalah peranan agama dalam mengatasi persoalan-persoalan
yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris
karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian.
Thomas F. O’Dea menuliskan enam
fungsi agama, yaitu (1) sebagai pendukung, pelipur lara, dan
perekonsiliasi, (2) sarana hubungan transcendental melalui pemujaan dan
pacara ibadat, (3) penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada,
(4) pengkoreksi fungsi yang ada, (5) pemberi identitas diri, dan (6)
pendewasaan agama. Fungsi agama yang dijelaskan hendrapuspito lebih
ringkas lagi, tetapi intinya hampir sama. Menurutnya, fungsi agama itu
adalah edukatif, penyelamatan, pengawasan social, memupuk persaudaraan
dan transformatif.
B. Agama dan Kehidupan
Kehidupan beragama pada dasarnya
merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan ghaib, luar
biasa atau supranatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan
masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam. Kepercayaan beragama
yang bertolak dari kekuatan ghaib ini tampak aneh, tidak alamiah dan
tidak rasional dalam pandangan individu dan masyarakat modern yang
terlalu dipengaruhi oleh pandangan bahwa sesuatu diyakini kalau konkret,
rasional, alamiah atau terbukti secara empiric dan ilmiah.
Ketergantungan masyarakat dan
individu pada keuatan ghaib ditemukan dari zaman purba sampai ke zaman
moden ini, kepercayaan itu diyakini kebenarannya sehingga ia menjadi
kepercayaan keagamaan atau kepercayaan religius. Kepercayaan terhadap
sucinya sesuatu itu dinamakan dalam antropologi dan sosiologi agama
dengan mempercayai sifat sacral pada sesuatu itu, mempercayai sesuatu
sebagai yang suci atau sacral juga cirri khas kehidupan beragama, adanya
aturan kehidupan yang dipercayai berasal dari Tuhan juga termasuk
kehidupan beragama. Semuanya ini menunjukan bahwa kehidupan beragama
aneh tapi nyata, dan merupakan gejala universal, ditemukan di mana dan
kapan pun dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Beragama sebagai gejala
universal masyarakat manusia juga diakui oleh Begrson (1859-1941),
pemikir prancis. Ia menulis bahwa kita menemukan masyarakat manusia
tanpa sains, seni dan filsafat, tetapi tidak pernah ada masyarakat tanpa
agama (El-Ehwani dalam sharif, 1963:556).
Di samping universal, kehidupan
beragama di zaman modern ini sudah demikian kompleks. Banyak macam agama
yang dianut mamusia dewasa ini. Aliran kepercayaan,aliran kebatinan,
aliran pemujaan atau yang dikenal dalam ilmu social dengan istilah
occultisme juga banyak ditemukan di kalangan masyarakat modern.
Kehidupan beragama dewasa ini ada yang dijadikan tempat penyejuk jiwa
dan pelarian dari hiruk pikuk ekonomi dan social politik sehari-hari,
ada pula yang dijadikan sumber motivasi untuk mencapai kehidupan ekonomi
dan social politik, di samping itu kehidupan beragama punya pengaruh
terhadap aspek kehidupan yang lain. Anne Marie Malefijt mengungkapkan
bahwa agama adalah tipe the most important aspects of culture yang
dipelajari oleh ahli antropologi dan ilmuwan social lainnya. Aspek
kehidupan beragama tidak hanya ditemukan dalam setiap masyarakat, tetapi
juga berinteraksi secara signifikan dengan instutusi budaya yang lain.
Ekspresi religius ditemukan dalam budaya material, perilaku
manusia,nilai, moral,system keluarga, ekonomi, hokum, politik,
pengobatan,sains, teknologi,seni, pemberontakan, perang, dll. Dari apa
yang dikemukakan oleh Malefitj adalah bahwa agama mewarnai dan membentuk
suatu budaya.
Agama atau minimal pendekatan
keagamaan adalah cara yang efektif dalam membentuk kepribadian dan
kebudayaan, baik beragama sebagai system social budaya atau sebagai
subsistem yang universal sebagai tipe penampilan serta penghayatannya
dikalangan kelompok-kelompok masyarakat, dari yang sekedar untuk
mencapai kesejukan sampai kepada tidak merasa bersalah tidak melakukan
tindakan terror terhadap masyarakat yang tidak berdosa, menjadikannya
sangat penting dipahami oleh setiap individu dan lembaga yang berurusan
dengan masyarakat.
Terdapat perbedaan kehidupan
beragama di kalangan masyarakat primitive dan masyarakat modern. Dalam
masyarakat primitive, kehidupan beragama tidak dapat dipisahkan dari
aspek kehidupan lain; beragama dan kegiatan sehari-hari menyatu.
Beragama merupakan sistam social budaya. Dalam masyarakat modern,
kehidupan beragama hanya salah satu aspek dari kehidupan beragama hanya
salah satu aspek dari kehidupan sehari-hari.
Geertz mengungkap betapa
kompleks dan mendalamnya kehidupan beragama. Agama tampak tumpang tindih
dengan kebudayaan (Geertz 1992).Kemudian kompleksitas dan luasnya ruang
lingkup ajaran agama dapat dilihat dalam ajaran islam. Sebagai agama
wahyu yang terakhir, islam adalah ajaran yang komprehensif dan terpadu,
yaitu mencakup bidang ibadat, perkawinan, waris, ekonomi, politik,
hubungan internasional, dan seterusnya.
Namun dalam fenomena social
budaya, dalam kehidupan umat islam di zaman modern ini, kehidupan
beragama menjadi menciut dalam aspek kecil dan kehidupan sehari-hari,
yaitu yang berhubungan dengan yang ghaib dan ritual saja. Kehidupan
beragama umat islam dewasa ini menjadi subsistem social budayanya.
Fenomena penciutan beragama ini karena pengaruh budaya modernism dan
sekularisme. Walaupun pengaruh modernism dan sekularisme demikian kuat,
ia juga menimbulkan gerakan dan aliran keagamaan dalam rangka melawan
dominasi modernism dan sekularisme tersebut, seperti aliran skripturalis
dan gerakan terror. Maraknya aliran kebatinan, occultism, aliran
ekslusif lainnya menjadikan fenomena kehidupan beragama makin kompleks.
Semua ekslusivitas dan kompleksitas kehidupan beragama ini menjadikannya
menarik untuk diteliti secara antropologis. Kajian antropologi terhadap
berbagai aliran ekslusif juga akan menjelaskan akar-akar budaya dari
objek yang dikaji, secara mencoba memahami gejala tesebut dalam konteks
budaya yang bersangkutan.
C. Pengaruh Agama Terhadap Golongan Masyarakat
Untuk mengetahui pengaruh agama
terhadap masyarakat, ada tiga aspek yang perlu dipelajari, yaitu
kebudayaan, system social, dan kepribadian ketiga aspek itu merupakan
fenomena social yang prilaku manusia. Maka timbul pertanyaan : sejauh
mana fungsi lembaga agama dalam memelihara sistem, apakah lembaga agama
terhadap kebudayaan sebagai suatu system? Dan sejauh mana fungsi agama
dalam mempertahankan keseimbangan pribadi.
Berkaitan dengan hal ini,
Nottingham menjelaskan secara umum tentang hubungan agama dengan
masyarakat yang menurutnya, terbagi tipe-tipe. Tampaknya pembagia ini
mengikutui konsep August Comte tentang proses tahapan pwembentukan
masyarakat. Adapun tipe-tipe yang di maksud Nottingham itu adalah
sebagai berikut.
- Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sacral. Tipe masyarakat ini kecil, terisolasi dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga lain yang relative berkembang selain lembaga keluarga, agama menjadi focus utama bagi pengintegrasian dan persatuan masyarakat dari masyatakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, kemungkinan agama memasukan pengaruh yang sacral ke dalam system nilai-nilai masyarakat sangat mutlak.
- Masyarakat
praindustri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakatnya tidak
terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe
pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada system nilai dalam tipe
masyarakat ini. Tetapi, pada saat yang sama, lingkungan yang sacral dan
yang sekuler sedikit-banyak masih dapat dibedakan. Misalnya, pada
fase-fase kehidupan social masih diisi oleh upacara-upacara keagamaan,
tetapi pada sisi kehidupan lain, pada aktivitas sehari-hari, agama
kurang mendukung. Agama hanya mendukung masalah adat-istiadat
saja.Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan focus utamanya
pada pengintegrasian tingkah laku perseorangan, dan pembentukan citra
pribadi mempunyai konsekuensi penting bagi agama.Salah satu
akibatnya,anggota masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan metode
empiris yang berdasarkan penalaran dan efesiensi dalam menanggapi
masalah- masalah kemanusiaan sehingga lingkungan yang bersifat sekuler
semakin meluas.
Memiliki karakter-karakter yang
dikemukakan Notting ham tersebut,tampaknya pengaruh agama terhadap
golongan masyarakat pun, jika dilihat dari karakter masing-masing
golongan pekerjaan,tidak akan berbeda jauh dengan pengaruh agama
terhadap masyarakat yang digambarkan Notting ham secara umum,karna
system masyarakat akan mencerminkan budaya masyarakatnya.
1. Golongan petani.Pada
umumnya,golongn petani termasuk masyarakat yang terbelakang.Lokasinya
berada didaerah terisolasi system masyarakatnya masih
sederhana,lembaga-lembaga sosialnyapun belum banyak berkembang.Mata
pencaharian utamanya bergantung pada alam yang tidak bisa
dipercepat,diperlamba,atau dperhitungkan secara cermat sesuai dengan
keinginan petani.Faktor subur tidaknya tanah,dan sebagainya merupakan
faktor-faktor yang brada di luar jangkauan petani oleh sebab itu,mereka
mencari kekuatan dan kemampuan di luar dirinya yang dipandang mampu
dandapat mengatasi semua persoalan yang telah atau akan menimpa
dirinya.Maka,diadakanlah upacara-upacara atau ritus-ritus yang dianggap
sebagai tolak bala atau menghormati dewa.Menyediakan sesajen bagi Dewi
Sri,yang dipercayai sebagai pelindung sawah dan ladang.
Dengan pengamatan selintas
pengaruh agama tehadap golongan petani cukup besar.Jiwa keagamaan mereka
relaitf lebih besar karena kedekatannya dengan alam.
2. Golongan nelayan.Karakter
pekerja golongan nelayan hampir sama dengan karakter golongan
petani.Mata pencahariannya berganyung pada keramahan alam.Jika musimnya
sedang bagus,tidak ada badai,boleh jadi tangkapan ikannya
melimpah.Biasanya pada waktu-waktu tertentu ada semacam upacara untuk
menghormati penguasa laut,yang pada masyarakat Indonesia dikenal sebagai
Nyi Roro Kidul.Berdasarkan fakta tersebut,pengaruh agama pada kehidupan
nelayan dapat dikatakan signifikan.
3. Golongan pengrajin dan
pedagang kecil.Golongan pengrajin dan pedagang kecil hidup dalam situasi
yang berbeda dengan golongan petani.Kehidupan golongan ini tidak
terlalu berkutat dengan situasi alam dan tidak terlalu bergantung pada
alam.Hidup mereka didasarkan atas landasan ekonomi yang memerlukan
perhitungan rasional.Mereka tidak menyadarkan diri pada keramahan alam
yang tidak bisa dipastikan,tetapi lebih mempercayai perencanaan yang
teliti danpengarahan yang pasti.
Menurut Weber yang mempelajari
sejarah agama-agama dengan cara yang berlaku pada zamannya,yaitu agma
Kristen,Yahudi,Islam,Hindu,Budha,dan konfusianisme,Taoisme golongan
pengrajin dan pedagang kecil suka menerima pandangan hidup yang mencakup
etika pembalasan. Mereka menaati kaidah moral dan pola sopan santun dan
percaya bahwa pekerjaan yang baik dilakukan dengan tekun dan teliti
akan membawa balas jasa yang setimpal.
4. Golongan pedagang
besar.Kategori yang paling menonjol dari golongan pedagang besar adalah
memiliki sikapnya yang lain terhadap agama.Pada umumnya kelompok ini
mempunyai jiwa yang jauh dari gagasan tentang imbalan jasa
(compensation) moral,seperti yang dimiliki golongan tingkat menengah
bawah.mereka lebih berorientasi pada kehidupan nyata (mundane) dan
cenderung menutup agama profetis dan etis. Perasaan keagamaannya lebih
bersifat fungsional, kemampuan yang mereka miliki terletk pada kekuatan
ekonominya.
5. Golongan kariyawan.Weber
menyebut golongan karyawan sebagai kaum birokrat. Hal ini dilihat dari
pembagian fungsi-fungsi kerja yang ada sudah jelas dan adanya
penyelesaian suatu masalah kemanusiaan berdasarkan penalaran dan
efisiensi.
6. Golongan buruh. Yang dimaksud
dengan golongan buruh adalah mereka yang bekerja dalam
industri-industri atau perusahan-perusahaan modern. Golongan buruh
termasuk kelas proletar yang tidak diikutsertakan dalam kehidupan
masyarakat,disingkirkan dari system social yang berlaju.Kelas ini
merupakan golongan yang dijadikan sapi perahan untuk meraup keuntungan
yang sangat besar oleh kaum borjuis.Agama yang dibutuhkan oleh golongan
buruh tampaknya agama yang bisa membebaskan dirinya dari penghisapan
tenega kerja segara berlebihan.
7. Golongan tua-muda. Meskipun
secara social penggolongan tua muda ini ada, tetapi susah ditentukan
batasannya secara praktis. Berdasarkan pengamatan sepintas tersebut,
dapat dikatakan bahwa agama pada golongan tua lebih kental dibandingkan
dengan golongan muda. Nanun, bila asumsi ini diterapkan pada zaman
sekarang, ternyata mengalami kesulitan juga, karena tidak jarang banyak
orang yang berumur 40 ke atas berlaku seperti anak muda.
8. Golongan pria-wanita. Secara
psikologis, watak umum pria dan wanita berbeda. Dalam menghadapi suatu
keadaan, watak pria lebih dominan menggunakan pertimbangan rasional,
sedangkan wanita lebih rasa / emosinya.
Jika dlihat secara keseluruhan,
tujuan beragama seseorang itu rata-rata untuk nencari ketenangan
bathin.Dalam masalah penghayatan keagamaan, tampaknya golongan wanita
lebih dominan,karena faktor pembawaan mereka umumnya cenderung
emosional.
D. Peranan Pemimpin Dalam Pembangunan
Tujuan pembangunan pada mulanya
sederhana saja, yakni memberantas kemiskinan dan menjembatani
kesenjangan. Ketika decade pembangunan dicanangkan oleh perserikatan
bangsa-bangsa (PBB), segera setelah perang dunia kedua, masalah yang
dihadapi saat itu adalah kehancuran ekonomi dan prasarana dari
Negara-negara yang kalah atau menjadi korban peperangan. Oleh karena
itu,perhatian ulama pembangunan ditekankan pada rehabilitasi dan
rekonstruksi sarana-sarana ekonomi.
Membahas peranan para pemimpin
agama dalam kegiatan pembangunan memang sangat menarik, bukan saja
lantaran para pemimpin agama merupakan salah satu komponen itu sendiri,
melainkan juga pada umumnya pembangunan diorientasikan pada upaya-upaya
manusia yang bersifat utuh dan serasi antara kemajuaan aspek lahiriah
dan kepuasan aspek bathiniah. Corak pembangunan seperti ini didasarkan
pemikiran bahwa keberadaan manusia yang akan dibangun, pada dasarnya,
terdiri atas unsure jasmaniah dan unsure ruhaniah. Kedua unsure ini
tentu harus terisi dalam proses pembangunan.
Pentingnya keterlibatan para
pemimpin agama dalam kegiatan pembangunan ini adalah dalam aspek
pembangunan unsure ruhaniahnya, para pemimpin agama dalam kegiatan
pembangunan tidak bersifat suplementer (pelengkap penderita), tetapi
benar-benar menjadi salah satu komponen inti dalam seluruh proses
pembangunan. Dalam pelaksanaanya, bahkan para pemimpin agama dapat
berperan lebih luas; bukan hanya terbatas pada pembangunan ruhani
masyarakat, tetapi juga dapat berperan sebagai motivator, pembimbing,
dan pemberi landasan etis dan moral, serta menjadi mediator dalam
seluruh aspek kegiatan pembangunan.
1. Pemimpin Agama Sebagai Motivator
Tidak dapat di sangkal bahwa
peran para pemimpin agama sebagai motivator pembangunan sudah banyak di
akui dan terbukti di masyarakat.
Terlibatnya para pemimpin agama
dalam kancah kegiatan pembangunan ini, terutama di dorong oleh kesadaran
untk ikut secara aktif memikirkan permasalahan-permasalahan duniawi
yang sangat kompleks yang dihadapi umat manusia.Begitu kompleksnya
permasalahan yang dihadapi manusia di dunia ini sampai pemerintahan
sekuler tidak dapat lagi memecahkannya tanpa bantuan dari pihak pemimpin
agama, seperti pemberantasan kemiskinan, mengatasu kesenjangan,
mencegah kerusakan lingkungan, dan mencegah terjadinya pelanggaran
terhadap hak asasi manusia.Tentu para pemimpin agama tidak dapat diam
berpangku tangan dengan mengatakan bahwa agama tidak mengurusi
permasalahan umat yang bersifat fisik, Agama hanya mengurusi aspek
spiritual damn kehidupan manusia, pemikiran seperti ini akan
mengakibatkan agama-agama di dunia ini dijauhioleh umat manusia.
Selain itu, para pemimpin agama
juga diharapkan mampu merangsang masyarakat agar berani melakukan
perubahan-perubahan kehidupan ke arah yang lebih maju dan sejahtera.
Para pemimpin agama dapat memberikan semangat kepada masyarakat untuk
selalu giat berusaha, jangan sekali-kali untuk bersifat fatalis. Para
pemimpin agama seyogianya memberikan wawasan kepada masyarakat bahwa
takdir hanyalah batas akhir dari upaya manusia dalam meraih
prestasi.Dengan demikian para pemimpin agama telah mampu membuktikan
kemampuannya untuk berbicara secara rasional dan tetap membangkitkan
gairah serta aksi masyarakat dalam meraih sesuatu yang
dicita-citakannya.
2. Pemimpin Agama Sebagai Pembimbing Moral
Peran kedua yang dimainkan para
pemimpin agama di masyarakat dalam kaitannya dengan kegiatan pembangunan
adalah peran yang berkaitan dengan upaya-upaya menanamkan
prinsip-prinsip etik dan moral masyarakat. Dalam kaitannya, kegiatan
pembangunan umumnya selalu menuntut peran aktif para pemimpin agama
dalam meletakkan landasan moral, etis, dan spiritual serta peningkatan
pengalaman agama, baikdalam kehiduan pribadi maupun social.
Berangkat dari landasan etis dan
moral inilah, kegiatan pembangunan lalu diarahkan pada upaya pemulihan
harkat dan martabat manusia, harga diri dan kehormatan individu, serta
pengakuan atas kedaulatan seseorang atau kelompok untuk mengembangkan
diri sesuai dengan keyakinan dan jati diri serta bisikan nuraninya. Di
sinilah kemudian nilai-nilai religius yang ditanamkan para pemimpin
agama memainkan peranan penting dalam kegiatan pembangunan.
Tuntutan dan patokan yang
tertuang dalam kitab suci, teladan para nabi, dan hukum-hukum agama yang
merupakan elaborasi dari sabda Tuhan menurut hasil pemikiran para
pemuka, pemimpin dan pemikir agama pada masa lalu, mereka jadikan bahan
untk membimbing arah kegiatan pembangunan secara menyeluruh.
3. Pemimpin Agama Sebagai Mediator
Peran lain para pemimpin agama
yang tidak kalah pentingnya, juga dalam kaitannya dengan kegiatan
pembangunan di masyarakat adalah sebagai wakil masyarakat dan seagai
pengantar dalam menjalin kerja sama yang harmonis di antara banyak pihak
dalam rangka melindungi kepentingan-kepentingannya di masyarakat dan
lembaga-lembaga keagamaan yang dipimpinnya.
Untuk membela
kepentingan-kepentingan ini, para pemimpin agama biasanya memposisikan
diri sebagai mediator di antara beberapa pihak di masyarakat, seperti
antara masyarakat dengan elite pengusaha dan antara masyarakat miskin
dengan kelompok orang-orang kaya. Melalui pemimpin agama, para elite
pengusaha dapat memahami apa yang diinginkan masyarakat, dan sebaliknya
elite pengusaha dapat mensosialisasikan program-programnya kepada
masyarakat luas melalui bantuan para pemimpin agama.
Munculnya kerja sama antara para
pemimpin agama di satu pihak dengn kalangan kaya dan penguasa di pihak
lain merupakan fenomena social yang umum terjadi di kalangan umat
beragama. Dari sudut formal keagamaan, kerja sama para pemimpin
keagamaan dengan kalangan hartawan dan dan penguasa ini memang tidak
dapat apa-apa. Sebab, sesunggguhnya kerja sama para pemimpin agama
dengan kalangan kaya dan penguasa, pada prinsipnya, tidak bisa di nilai
buruk. Agama bagaimanapun, merupakan rahmat bagi segenap manusia, tak
peduli miskin atau kaya, penguasa atau rakyat jelata,di sinilah pemimpin
agama menyadari bahwakerja sama mereka tidak lain adalah untuk
kepentingan menegakkan keadilan social dan untuk membeli kepentingan
orang-orang kecil.
No comments :
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan baik dan sopan, komentar anda berharga bagi saya...oke browww