Saat itu saya hanya sanggup berdoa, pasrah dipukuli, di timpa batu, di injak – injak...
Tulisan ini tidak bermaksud latah ikutan para pakar yang
mengulas soal tawuran anak sekolah, khususnya peristiwa meninggalnya Alawy
siswa kelas x SMA 6 akibat tawuran SMA 70 dengan SMA 6. Bukan juga karena saya
alumni dari SMA 70 lantas merasa paling tahu, cuma saya rasanya gerah juga
dengan komentator dan ulasan yang asal bunyi, kelihatan tidak mendalami akar
dan pokok permasalahan yang sebenarnya terjadi.
Sedikit flashback ke tahun 1988, saat saya baru saja memakai
seragam baru putih abu – abu. Bagi remaja di Jakarta, masuk SMA 70 jelas sebuah
kebanggaan. Sekolah favorit gitu lho. NEM nya harus diatas 41, dari SMP saya
saja Cuma tiga orang termasuk saya yang lolos. Hari pertama masuk sekolah,
berangkat naik bis S 74 dari rumah saya di Tanah kusir, turun di halte bulungan
depan kantor kejaksaan. Saya pastikan diri saya berpenampilan serapih mungkin.
Bibir pun entah kenapa tidak bosan melebar manis. Makin dekat ke pintu gerbang
sekolah, makin lebar saja ini bibir tersenyum.
Tiba – tiba mendadak sontak, keadaan berubah 180 derajat.
Entah bagaimana awalnya, kerah baju baru saya kusut direngut, disusul bentakan
nyaring, “Ngapain lo cengar cengir, nantangin gua? Mau jadi jagoan?” Plak!! Kepala
terhuyung karena di keplak. Welcome to the jungle! Alhasil saya bisa lolos dari
trouble maker, kakak kelas saya sendiri setelah dipaksa metraktir semangkuk mie
ayam di kantin. Dan siang itu dengan perasaan masih shock, saya hanya minum es
teh manis saat jam istirahat.
Persoalan ternyata tidak berhenti disitu. Setelah habis
waktu keluar main, ketika baru duduk dibangku, datanglah prahara kedua. Segerombolan
anak Laskar julukan angkatan diatas kami, masuk kelas dan mulai menebar teror.
Mulai dari bentakan, cipratan ludah hingga tamparan mendarat di pipi semua
siswa laki – laki. Teror baru berakhir setelah guru datang.
Singkat cerita, setelah bubaran sekolah, saya berjalan
pulang menuju halte bulungan dan ketika ada bis jurusan Rempoa, saya langsung
naik dan berdiri ditengah. Belum habis saya mengingat kejadian barusan, tiba –
tiba saya menyadari bahwa saya sedang berada dalam situasi yang membahayakan. Benar
saja, salah satu penumpang di bis ternyata siswa STM Penerbangan. Ketika bis
memasuki kawasan taman puring, saya melihat ratusan siswa STM berjajar dan
bergerombol. Saya hanya ingat waktu itu, anak STM yang ada di bis tadi
berteriak memanggil kawan – kawannya diluar bahwa ada anak 70, yang tidak lain
adalah saya. Bak serigala – srigala lapar, mereka berlompatan masuk ke dalam
bis. Bisa ditebak apa yang terjadi, pukulan, sundutan rokok, tusukan obeng
bertubi – tubi menghujami badan saya. Seragam baru saya berlumuran darah. Tidak
puas sampai disitu, saya di seret dan ditendang keluar bis tanpa seorangpun
berani melindungi saya. Bahkan sopir bis segera melarikan bisnya meninggalkan
saya.
Saat itu saya hanya sanggup berdoa, pasrah dipukuli, di
timpa batu, di injak – injak. Saya masih mendengar sayup – sayup teriakan
seorang ibu, “ Sudah lah sudah, kasian itu anak, jangan – jangan sudah mati.” Ya
betul bu, hari itu, hari pertama saya masuk sekolah, saya sudah mati rasa.
Bukan sakit karena penganiayaan fisik yang saya rasakan waktu itu. Semenjak saat
itu, misi saya berangkat sekolah bukan lagi untuk belajar. Pertanyaannya bukan
lagi besok belajar apa, tapi besok anak STM mana yang harus saya hajar, yang
harus merasakan penderitaan yang saya alami. Setelah dirawat tiga hari, saya
sudah tidak tahan untuk segera berangkat ke sekolah. Bukan mau belajar, tapi
membuat perhitungan. Demikian awal dari keterlibatan saya masuk ke lingkaran
setan tradisi tawuran yang sama sekali tidak jelas.
Mungkin pengalaman saya termasuk sebab akibat yang ekstrim.
Tapi ini bisa mewakili sebuah gambaran bahwa tawuran pelajar adalah produk
rusak dari masyarakat yang sudah rusak. Lingkungan lah yang membuat remaja kita
rusak. Kalau mau semua pihak berbesar hati, kerusakan mental dan prilaku remaja
adalah buah dari sistem kehidupan sosial yang sudah rusak. Hukuman penjara
seharusnya adalah langkah terakhir yang harus ditempuh setelah kita semua
berupaya sungguh – sungguh untuk membenahi diri, memperbaiki keluarga dan
seterusnya masyarakat yang lebih luas. Siapa saja pihak – pihak yang paling
bertanggung jawab dalam hal ini:
1. Ulama, pemuka
agama dan organisasi keagamaan
Sudah saatnya para pemuka agama kembali ke khittah nya,
menjalani kewajibannya untuk mendidik moral masyarakat. Kembalikan kharisma
sebagai contoh umat dengan konsistensi antara ceramah, ucapan dan perbuatan.
Agama jangan lagi dijadikan barang dagangan untuk kepentingan politik,
kekuasaan dan segala sesuatu yg berorientasi materi. Pasang alarm peringatan
diri, jika lingkungan masyarakat sudah lama terbengkalai, penuh dengan semak
belukar kejahatan, pembiaran nafsu, perioritas mengejar keuntungan. Siapa lagi
yang paling berwenang untuk mendidik umat kejalan kebenaran? Formula apa lagi
yang paling tepat untuk memperbaiki masyarakat? Tidak lain tidak bukan, Pemuka
agama dan ajaran agama itu sendiri. Orang pintar sudah banyak. Tapi apa yang
terjadi? Semakin pintar masyarakat, semakin banyak kerusakan dan penyimpangan
terjadi. Janganlah beku dan kaku dalam penerapan ajaran agama. Sudah saatnya
nilai – nilai kebenaran dalam ajaran agama menjadi way of life. Keluarkanlah
segala energi dan kreatifitas untuk membuat program – program pembinaan yang
customize, to the point dan terukur. Ukurannya kan jelas. Jika kerusakan sudah
berangsur membaik itulah tandanya. Kalau kerusakan makin menjadi – jadi? Masa
Ulama ngga yakin kalau Tuhan menjadi Becking untuk urusan ini? No TW, no TS, no
PS, TK, JH, LM atau inisial apapun yang bisa menandingi kekuasaan dan kehebatan
Tuhan. Setuju pak Kyai?
2. Abdi Negara Dan
Jajarannya
Sengaja saya tidak tulis pemerintah. Dalam hal ini tidak
cukup dengan perintah – perintah, undang – undang, peraturan, hukuman, dsb.
Yang diperlukan adalah pemegang amanah, abdi negara, abdi masyarakat. Apa
gunanya ditunjuk dan dipilih jadi abdi negara kalau urusan anak sekolah tawuran
saja tidak sanggup menyelesaikan. Apa gunanya anggaran pendidikan yang besar
dan para pakar pendidikan dengan gaji besar kalau tidak sanggup menyelesaikan.
Kegagalan terbesar justru jika pihak yang berwenang menganggap persoalan ini
adalah persoalan ranting. Coba kita tanya guru Biologi, apakah buah tumbuh di
batang? Di cabang? Yang pasti tumbuh diranting. Lalu apakah dengan demikian
rantingnya di pangkas habis saja? Kalau begitu cara penangannya, habis sudah
orang pintar jadi bodoh, orang bodoh jadi pintar. Kata guru biologi, buah yang
masam dan busuk, bukan semata mata kesalahan ranting. Bukan buahnya yang
disemprot obat. Apalagi dipangkas ranting. Untuk apa pohon yang besar,
batangnya kokoh, cabangnya kuat, daunnya rimbun tapi tidak berbuah? Marilah
dengan otoritas dan kewenangan yang ada, ditelusuri masalah ini sampai ke akar –
akarnya. Ditilik juga faktor eksternalnya, lahannya, pupuknya, hamanya, faktor
cuacanya, dan SWOT nya secara integral dan menyeluruh.
3. Masyarakat dan
Lingkungan
Kalau kita simak dari cerita saya dipukuli dan diseret
keluar bis, jelas masyarakat kita adalah masyarakat yang pengecut,
apatis dan
maunya selamat sendiri. Yang dipukuli satu orang anak umur 15 tahun,
yang
ngeroyok puluhan orang, Kemana waktu itu hati nurani dan jiwa membela
kebenaran. Saya yakin kalau saja ada beberapa orang yang berani, tentu
kejadian
tidak bakalan seperti itu. Artinya apa? Kita sebagai masyarakat sudah
kehilangan fungsi kita sebagai makhluk sosial. Kalau urusan kritik,
masyarakat
kita paling jago. Tapi giliran membela kebenaran, nanti dulu. Tunggu
Superman datang dulu barangkali. Ulama dan pemerintah memang pemegang
porsi terbesar
dalam hal ini, tetapi apa gunanya jika masyarakatnya pun tidak bisa
dididik,
tidak mau berpartisipasi, maunya menuntut hak tanpa mau berkewajiban.
Kewajiban
utama, ya menjaga lingkungan tempat bermasyarakat kita sendiri
seharusnya. Masyarakat
juga terdiri dari berbagai profesi. Termasuk media. Kadang – kadang
media
juga membuat berita tanpa ada unsur didikannya. Yang penting heboh.
Banyak
pemberitaan yang justru membuat persoalan jadi simpang siur dan tidak
fokus.
4. Orang Tua dan
Keluarga
Orang tua mana yang tidak menginginkan anak yang soleh, anak
yang baik, berbakti, pintar dan berprestasi? Tapi zaman sekarang pertanyaannya
harus dibalik, Orang tua mana yang sudah sungguh – sungguh membuat harapan –
harapan mulia tersebut mejadi kenyataan? Dari semua harapan baik tersebut,
mungkin hanya urusan menjadi pintar dan berprestasi yang diupayakan. Selebihnya
diserahkan kepada guru dan lingkungan. Belum lagi persoalan kita sendiri yang selalu
memberi contoh pengajaran prilaku yang tidak baik. Belum lagi soal visi misi
kehidupan kita yang terlalu sempit dan melulu soal kesuksesan hidup materi.
Faktor orang tua dan keluarga menjadi faktor yang penting untuk mendidik anak –
anak dan remaja kita menjadi anggota masyarakat yang baik. Ketika kita
menyesali kesalahan yang mereka perbuatpun, seharusnya kita memajang cermin
besar agar kita bisa mematut dan menilai diri dulu sebelum bertindak atas nama
hukuman atau pelajaran bagi mereka.
5. Guru Dan Sekolah
Saya sengaja meletakkan guru dan sekolah sebagai penanggung
jawab terakhir. Karena saya lihat, saat ini seakan akan merekalah unsur utama
yang paling bertanggung jawab. Coba bayangkan, dengan waktu yang sangat
terbatas, dibebani dengan target kurikulum dan mengelola siswa yang demikian
banyak, apa mungkin semua tanggung jawab pendidikan dan moral remaja kita
diberikan pada mereka? Jawabanya sama – sama kita tahu. Demikian sedikit cerita
nostalgia masa SMA dan sedikit ulasan dari mantan pelaku tradisi tawuran
pelajar di jakarta J
No comments :
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan baik dan sopan, komentar anda berharga bagi saya...oke browww