Kesadaran
beragama pada anak seringkali berpengaruh pada perilakunya sehari-hari.
Kesadaran ini banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan pendidikan,
pengalaman, terutama pada masa-masa pertumbuhan yang pertama (masa anak)
dari umur 0 – 12 tahun.
Terkadang, kita mendapati anak
kita tiba-tiba berkata “bu itu tidak boleh dilakukan!”, dan berkomentar
macam-macam berdasarkan kesimpulan logika agama anak-anak yang ia cerna.
Agar kita tidak kaget dengan perkembangan ini, dan dapat menentukan
sikap yang tepat pada anak, ada baiknya kita juga memahami fase
perkembangan keagamaan anak-anak.
Menurut penelitian Ernest Harmas, perkembangan keberagaman anak itu melalui tiga fase yaitu:
- The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng). Tingkatan ini dimulai pada anak berusia 3 – 6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Anak menghayati konsep ketuhanan cenderung menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
- The Realistic Stage (tingkat kenyataan). Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga sampai usia adolesense. Pada masa ini ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kenyataan (realistis). Konsep ini timbul melalui lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang lain. Ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga melahirkan konsep Tuhan yang formalis.
- The
Individual Stage (tingkat individu). Pada tingkat ini anak telah
memiliki kepakaan emosi yang paling tinggi. Konsep keagamaan yang
individualistis ini terbagi atas tiga golongan yaitu: (a) konsep
ketuhanan yang konservatif dan konvensional dengan dipengaruhi sebagian
kecil fantasi yang disebabkan oleh pengaruh luar; (b) konsep ketuhanan
yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat
humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam
menghayati ajaran agama. Perubahan setiap tingkatan dipengaruhi oleh
faktor intern yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern yang berupa
pengaruh luar yang dialaminya.
Pengalaman anak tentang Tuhan,
pertama kali melalui orangtua dan lingkungan keluarganya. Kata-kata,
sikap dan tindakan orangtua, sangat mempengaruhi perkembangan pada anak.
Uswatun Hasanah yang ditampilkan orangtua berpengaruh signifikan pada
kesadaran perkembangan anak, yang selanjutnya berimplikasi pada sikapnya
dalam beragama. Dalam fase ini si anak hanya menstransfer dalam
dirinya, apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Proses pemasukan data
pengalaman ini, meraka lakukan secara alami, tanpa ada reserve sama
sekali si anak tidak memiliki kemampuan untuk memikirkannya.
Pengalamana empiris tersebut
selanjutnya akan berpengaruh pada sikap keagamannya, apakah anak akan
menjadi penganut agama yang taat atau tidak. Asumsi ini diperkuat oleh
James, bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkah laku
keagamaan seseorang dengan pengalaman keagamaan yang dimilikinya.
Berdasarkan gambaran di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa perkembangan keberagaman anak adalah
bagian dari proses perkembangan anak untuk bertuhan. Perkembangan
tersebut dipengaruhi oleh lingkungan, pendidikan, pengalaman-pengalaman
yang dilalui terutama pada terutama pada masa-masa pertumbuhan.
Pengalaman yang telah mengendap dalam bawah sadar tersebut, membentuk
pola pikir yang selanjutnya teraktualisasikan dalam tindakan
keberagamannya. Perkembangan keberagaman anak tersebut melalui tiga
tingkatan, yaitu: (1) Tingkat dongeng: pengenalan tentang Tuhan
cenderung dipengaruhi oleh fantasi dan emosi anak, (2) Tingkatan
kenyataan: ide ketuhanan anak sudah berdasarkan pada kenyataan empiris,
(3) Tingkat individu: anak sudah memiliki kepekaan emosi yang tinggi.
No comments :
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan baik dan sopan, komentar anda berharga bagi saya...oke browww