A. Latar Belakang Masalah
Siapa yang tidak kenal dengan Pancasila
dan Soekarno sebagai penggalinya? Pada tanggal 1 Juni 1945 untuk
pertama kalinya Bung Karno mengucapkan pidatonya di depan sidang rapat
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan. Pancasila merupakan
pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang
majemuk. Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila terhadap bangsa dan
negara Indonesia? Kondisi ini dapat terjadi karena perjalanan sejarah
dan kompleksitas keberadaan bangsa Indonesia seperti keragaman suku,
agama, bahasa daerah, pulau, adat istiadat, kebiasaan budaya, serta
warna kulit jauh berbeda satu sama lain tetapi mutlak harus
dipersatukan.
<p>Your browser does not support iframes.</p>
<p>Your browser does not support iframes.</p>
Sejarah
Pancasila adalah bagian dari sejarah inti negara Indonesia. Sehingga
tidak heran bagi sebagian rakyat Indonesia, Pancasila dianggap sebagai
sesuatu yang sakral yang harus kita hafalkan dan mematuhi apa yang
diatur di dalamnya. Ada pula sebagian pihak yang sudah hampir tidak
mempedulikan lagi semua aturan-aturan yang dimiliki oleh Pancasila.
Namun, di lain pihak muncul orang-orang yang tidak sepihak atau menolak
akan adanya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Mungkin kita masih
ingat dengan kasus kudeta Partai Komunis Indonesia yang menginginkan
mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi Komunis. Juga kasus kudeta
DI/TII yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan mendirikan sebuah
negara Islam. Atau kasus yang masih hangat di telinga kita masalah
pemberontakan tentara GAM.
Jika kita melihat semua kejadian
di atas, kejadian-kejadian itu bersumber pada perbedaan dan
ketidakcocokan ideologi Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia
dengan ideologi yang mereka anut. Dengan kata lain mereka yang melakukan
kudeta atas dasar keyakinan akan prinsip yang mereka anut adalah yang
paling baik, khususnya bagi orang-orang yang berlatar belakang prinsip
agama. Berdasarkan Latar Belakang permasalahan tersebut, penulis
tertarik untuk menulis makalah yang berjudul “PANCASILA VS AGAMA”.
Masalah pokok yang hendak
dikemukakan di sini adalah kenyataan bahwa Pancasila tidak merupakan
paham yang lengkap, juga tidak merupakan kesatuan yang bulat.
Kelengkapannya bergantung pada pemikiran lain yang dijabarkan ke dalam
Pancasila; dan kesatuan bulatnya juga demikian. Dalam rangka ini, paham
agama bisa pula masuk.
A. ARTI PENTING KEBERADAAN PANCASILA
Pancasila sebagai dasar negara
memang sudah final. Menggugat Pancasila hanya akan membawa
ketidakpastian baru. Bukan tidak mungkin akan timbul chaos (kesalahan)
yang memecah-belah eksistensi negara kesatuan. Akhirnya Indonesia akan
tercecer menjadi negara-negara kecil yang berbasis agama dan suku. Untuk
menghindarinya maka penerapan hukum-hukum agama (juga hukum-hukum adat)
dalam sistem hukum negara menjadi urgen untuk diterapkan. Sejarah
Indonesia yang awalnya merupakan kumpulan Kerajaan yang berbasis agama
dan suku memperkuat kebutuhan akan hal ini. Pancasila yang diperjuangkan
untuk mengikat agama-agama dan suku-suku itu harus tetap mengakui jati
diri dan ciri khas yang dimiliki setiap agama dan suku.
B. SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA
Sebagai negara yang bermayoritas
penduduk agama islam, Pancasila sendiri yang sebagai dasar negara
Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh agama yang tertuang dalam sila
pertama yang berbunyi sila “Ketuhanan yang Maha Esa”. yang pada awalnya
berbunyi “… dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya”
yang sejak saat itu dikenal sebagai Piagam Jakarta. Namun dua ormas
Islam terbesar saat itu dan masih bertahan sampai sekarang yaitu
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menentang penerapan Piagam Jakarta
tersebut, karena dua ormas Islam tersebut menyadari bahwa jika penerapan
syariat Islam diterapkan secara tidak langsung namun pasti akan
menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan secara “fair” hal tersebut
dapat memojokkan umat beragama lain. Yang lebih buruk lagi adalah dapat
memicu disintegrasi bangsa terutama bagi provinsi yang mayoritas
beragama nonislam. Karena itulah sampai detik ini bunyi sila pertama
adalah “ketuhanan yang maha esa” yang berarti bahwa Pancasila mengakui
dan menyakralkan keberadaan Agama, tidak hanya Islam namun termasuk juga
Kristen, Katolik, Budha dan Hindu sebagai agama resmi negara pada saat
itu.
C. BUTIR-BUTIR PANCASILA SILA PERTAMA
Atas perubahan bunyi sila
pertama menjadi Ketuhanan yang Maha Esa membuat para pemeluk agama lain
di luar islam merasa puas dan merasa dihargai. Searah dengan
perkembangan, sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat dijabarkan dalam
beberapa point penting atau biasa disebut dengan butir-butir Pancasila.
Diantaranya:
- Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
- Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
- Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing
- Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
BAB IV BENTUK KOLABORASI PANCASILA DENGAN AGAMA
• IDEOLOGI PANCASILA SEBAGAI PILIHAN
Keberagaman agama dan pemeluk
agama di Indonesia menjadi sebuah kenyataan yang tak terbantahkan.
Kenyataan ini menuntut adanya kesadaran dari setiap pemeluk agama untuk
menjaga keharmonisan hubungan di antara mereka. Semua pemeluk agama
memang harus mawas diri. Yang harus disadari adalah bahwa mereka hidup
dalam sebuah masyarakat dengan keyakinan agama yang beragam. Dengan
demikian, semestinya tak ada satu kelompok pemeluk agama yang mau menang
sendiri.
Seperti yang telah kita ketahui
bahwa di Indonesia terdapat berbagai macam suku bangsa, adat istiadat
hingga berbagai macam agama dan aliran kepercayaan. Dengan kondisi
sosiokultur yang begitu heterogen dibutuhkan sebuah ideologi yang netral
namun dapat mengayomi berbagai keragaman yang ada di Indonesia. Karena
itu dipilihlah Pancasila sebagai dasar negara. Namun saat ini yang
menjadi permasalahan adalah bunyi dan butir pada sila pertama. Sedangkan
sejauh ini tidak ada pihak manapun yang secara terang-terangan
menentang bunyi dan butir pada sila kedua hingga ke lima. Namun ada
ormas-ormas yang terang-terangan menolak isi dari Pancasila tersebut.
Akibat maraknya parpol dan ormas
Islam yang tidak mengakui keberadaan Pancasila dengan menjual nama
Syariat islam dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa. Bagi kebanyakan
masyarakat Indonesia yang cinta atas keutuhan NKRI maka banyak dari
mereka yang mengatasnamakan diri mereka Islam Pancasilais, atau Islam
Nasionalis. Konsep negara Pancasila adalah konsep negara agama-agama.
Konsep negara yang menjamin setiap pemeluk agama untuk menjalankan
agamanya secara utuh, penuh dan sempurna. Negara Pancasila bukanlah
negara agama, bukan pula negara sekuler apalagi negara atheis. Sebuah
negara yang tidak tunduk pada salah satu agama, tidak pula
memperkenankan pemisahan negara dari agama, apalagi sampai mengakui
tidak tunduk pada agama manapun. Negara Pancasila mendorong dan
memfasilitasi semua penduduk untuk tunduk pada agamanya. Penerapan
hukum-hukum agama secara utuh dalam negara Pancasila adalah
dimungkinkan. Semangat pluralisme dan ketuhanan yang dikandung Pancasila
telah siap mengadopsi kemungkinan itu. Tak perlu ada ketakutan ataupun
kecemburuan apapun, karena hukum-hukum agama hanya berlaku pada
pemeluknya. Penerapan konsep negara agama-agama akan menghapus
superioritas satu agama atas agama lainnya. Tak ada lagi asumsi
mayoritas – minoritas. Bahkan pemeluk agama dapat hidup berdampingan
secara damai dan sederajat. Adopsi hukum-hukum agama dalam negara
Pancasila akan menjamin kelestarian dasar negara Pancasila, prinsip
Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.
Pikirkan jika suatu kebenaran,
kesalahan maupun etika moral ditentukan oleh sebuah definisi sebuah
agama dalam hal ini agama Islam. Sedangkan ketika anda terlibat
didalamnya anda adalah seseorang yang memeluk agama diluar Islam! Apakah
yang anda pikirkan dan bagai mana perasaan di hati anda ketika sebuah
kebenaran dan moralitas pada hati nurani anda ditentukan oleh agama lain
yang bukan anda anut?
Sekarang di
beberapa provinsi telah terjadi, dengan alasan moral dan budaya maka
diterapkanlah aturan tersebut. Sebagai contoh, kini di sebuah provinsi
semua wanita harus menggunakan jilbab. Mungkin bagi sebagian kecil orang
yang tinggal di Indonesia merupakan keindahan namun bagai mana dengan
budaya yang selama ini telah ada? Jangankan di tanah Papua, pakaian
Kebaya pun artinya dilarang dipakai olah putri daerah. Bukankah ini
merupakan pengkhianatan terhadap kebinekaan bangsa Indonesia yang begitu
heterogen. Jika anda masih ragu, silakan lihat apa yang terjadi di
Saudi Arabia dengan aliran Salafy Wahabinya. Tidak ada pemilu, tidak ada
kesetaraan gender dan lihat betapa tersisihnya kaum wanita dan penganut
agama minoritas di sana. Jika memang anda cinta dengan Adat, Budaya dan
Toleransi umat beragama di Indonesia dukung dan jagalah kesucian
Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa.
• KONTROVERSI PANCASILA
Sebagai
dasar negara RI, Pancasila juga bukanlah perahan murni dari nilai-nilai
yang berkembang di masyarakat Indonesia. Karena ternyata, sila-sila
dalam Pancasila, sama persis dengan asas Zionisme dan Freemasonry.
Seperti Monoteisme (Ketuhanan YME), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme
(Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan
Sosialisme (Keadilan Sosial). Tegasnya, Bung Karno, Yamin, dan Soepomo
mengadopsi (baca: memaksakan) asas Zionis dan Freemasonry untuk
diterapkan di Indonesia.
Selain alasan di atas,
agama-agama yang berlaku di Indonesia tidak hanya Islam, tetapi ada
Kristen Protestan dan Katolik, Hindu, Budha, bahkan Konghucu. Kesemua
agama itu, menganut paham atau konsep bertuhan banyak, bahkan pengikut
animisme. Hanya agama Islam saja yang memiliki konsep Berketuhanan YME
(Allahu Ahad). Pada masa pra kemerdekaan tatanan sosial masyarakat di
Nusantara, kebanyakan terdiri dari Kerajaan-kerajaan Hindu. Dari sistem
monarkis seperti ini, belum dikenal konsep musyawarah untuk mufakat;
tetapi yang berlaku adalah sabda pandita ratu. Rakyat harus tunduk dan
patuh pada titah sang raja tanpa reserve. Sekaligus, minus demokrasi,
karena kedudukan raja diwarisi turun temurun. Kala itu, tidak ada
persatuan. Perpecahan, perebutan kekuasaan dan wilayah, selalu
mengundang pertumpahan darah.
Sejak awal, Pancasila agaknya
tidak dimaksudkan sebagai alat pemersatu, apalagi untuk mengakomodir
ke-Bhinekaan yang menjadi ciri bangsa Indonesia. Tetapi untuk menjegal
peluang berlakunya Syari’at Islam. Para nasionalis sekuler, terutama Non
Muslim, hingga kini menjadikan Pancasila sebagai senjata ampuh untuk
menjegal Syariat Islam, meski konsep Ketuhanan yang terdapat dalam
Pancasila berbeda dengan konsep bertuhan banyak yang mereka anut. Mereka
lebih sibuk menyerimpung orang Islam yang mau menjalankan Syariat
agamanya, ketimbang dengan gigih memperjuangkan haknya dalam menjalankan
ibadah dan menerapkan ketentuan agamanya. Bagaimana toleransi bisa
dibangun di atas konstruksi filsafat yang menghasilkan anarkisme
ideologi seperti ini?
Pancasila, sudah kian terbukti,
cuma sekadar alat politisi busuk yang anti Islam, namun mengatasnamakan
ke-Bhinekaan. Padahal, bukan hanya Indonesia yang masyarakatnya
multietnis, multi kultural, dan multi agama. Di Amerika Serikat, untuk
mempertahankan ke-Bhinekaannya mereka tidak perlu Pancasila, begitu pun
negara jiran Malaysia. Nyatanya, mereka justru lebih maju dari
Indonesia. Kenyataan ini, betapapun pahitnya haruslah diakui secara
jujur. Sayangnya, sejumlah pejabat dan mantan pejabat di negeri ini,
belum juga siuman dari mimpinya tentang kemanusiaan yang adil dan
beradab, sebagaimana sila kedua Pancasila. Sedang sejarah membuktikan,
apa yang dilakukan rezim penguasa selama 60 tahun Indonesia merdeka,
justru penindasan terhadap kemanusiaan.
Dalam memperingati hari lahir
Pancasila, 4 Juni 2006, di Bandung, muncul sejumlah tokoh nasional
berupaya memperalat isu Pancasila untuk kepentingan zionisme. Celakanya,
mereka menggunakan cara yang tidak cerdas dan manipulatif. Dengan
berlandaskan asas Bhineka Tunggal Ika, mereka memosisikan agama
seolah-olah perampas hak dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Segala hal
yang berkaitan dengan agama dianggap membelenggu kebebasan. Kebencian
pada agama, pada gilirannya, menyebabkan parameter kebenaran
porak-poranda, kemungkaran akhlak merajalela. Kesyirikan, aliran sesat,
dan perilaku menyesatkan membawa epidemi kerusakan dan juga bencana.
Anehnya, peristiwa bencana gempa
bumi yang menewaskan lebih dari 6000 jiwa di Jogjakata, 27 Mei 2006,
malah yang disalahkan Islam dan umat Islam. Seorang paranormal
mengatakan,”Bencana gempa di Jogjakarta, terjadi akibat pendukung RUU
APP yang kian anarkis.” Lalu, pembakaran kantor Bupati Tuban, cap jempol
atau silang darah di Jatim, yang dilakukan anggota PKB dan PDIP, dan
menyatroni aktivis FPI, Majelis Mujahidin, dan Hizbut Tahrir. Apakah
bukan tindakan anarkis? Jangan lupa, Bupati Bantul, Idham Samawi, yang
daerahnya paling banyak korban gempa bumi berasal dari PDIP.
Tidak itu saja. Upaya
penyeragaman budaya, maupun moral atas nama agama, juga dikritik pedas.
“Bhineka Tunggal Ika sebagai landasan awal bangsa Indonesia harus
dipertahankan. Masyarakat Indonesia beraneka ragam, sehingga tindakan
menyeragamkan budaya itu tidak dibenarkan,” kata Megawati. Penyeragaman
yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Akbar Tanjung,”Keberagaman itu
tidak dirusak dengan memaksakan kehendak. Pihak yang merongrong Bhineka,
adalah kekuatan-kekuatan yang ingin menyeragamkan.” Padahal, justru
Bung Karno pula orang pertama yang mengkhianati Pancasila. Dengan
memaksakan kehendak, ia berusaha menyeragamkan ideologi, budaya, dan
seni. Ideologi NASAKOM (Nasionalisme, agama, dan komunis) dipaksakan
berlaku secara despotis. Demikian pula, seni yang boleh dipertunjukkan
hanya seni gaya Lekra. Sementara yang berjiwa keagamaan dinyatakan
sebagai musuh revolusi. Begitu pun Soeharto, berusaha menyeragamkan
ideologi melalui asas tunggal Pancasila. Hasilnya, kehancuran.
• PEMAHAMAN DAN PELANGGARAN TERHADAP PANCASILA SAAT INI
Ideologi
Pancasila merupakan dasar negara yang mengakui dan mengagungkan
keberadaan agama dalam pemerintahan. Sehingga kita sebagai warga negara
Indonesia tidak perlu meragukan konsistensi atas Ideologi Pancasila
terhadap agama. Tidak perlu berusaha mengganti ideologi Pancasila dengan
ideologi berbasis agama dengan alasan bahwa ideologi Pancasila bukan
ideologi beragama. Ideologi Pancasila adalah ideologi beragama.
Sesama umat beragama seharusnya
kita saling tolong menolong. Tidak perlu melakukan permusuhan ataupun
diskriminasi terhadap umat yang berbeda agama, berbeda keyakinan maupun
berbeda adat istiadat. Hanya karena merasa berasal dari agama mayoritas
tidak seharusnya kita merendahkan umat yang berbeda agama ataupun
membuat aturan yang secara langsung dan tidak langsung memaksakan aturan
agama yang dianut atau standar agama tertentu kepada pemeluk agama
lainya dengan dalih moralitas. Hendaknya kita tidak menggunakan standar
sebuah agama tertentu untuk dijadikan tolak ukur nilai moralitas bangsa
Indonesia. Sesungguhnya tidak ada agama yang salah dan mengajarkan
permusuhan.
Agama yang diakui di Indonesia
ada 5, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu. Sebuah kesalahan
fatal bila menjadikan salah satu agama sebagai standar tolak ukur benar
salah dan moralitas bangsa. Karena akan terjadi chaos dan timbul gesekan
antar agama. kalaupun penggunaan dasar agama haruslah mengakomodir
standar dari Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu bukan berdasarkan
salah satu agama entah agama mayoritas ataupun minoritas.
No comments :
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan baik dan sopan, komentar anda berharga bagi saya...oke browww