A. Latar Belakang
Terdapat banyak ungkapan yang dapat di pakai untuk menggambarkan
pengertian korupsi, meskipun tidak seutuhnya benar. Akan tetapi tidak
terlalu menjauh dari hakikat dan pengertian korupsi itu sendiri. Ada
sebagian yang menggunakan istilah “ikhtilas” untuk menyebutkan prilaku
koruptor, meskipun dalam kamus di temukan arti aslinya yaitu mencopet
atau merampas harta orang lain. Sementara itu terdapat pengungkapan
“Ghulul” dan mengistilahkan “Akhdul Amwal Bil Bathil”, sebagaimana
disebutkan oleh al-qur’an dalam surat al-baqarah : 188
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا
إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ
بِالْأِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ[1]
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal
kamu mengetahui
Realitanya praktikal korupsi yang selama ini terjadi ialah berkaitan
dengan pemerintahan sebuah Negara atau public office, sebab esensi
korupsi merupakan prilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku
di pemerintahan yang terletak pada penggunaan kekuasaan dan wewenang
yang terkadung dalam suatu jabatan di sau pihak dan di pihak lain
terdapat unsure perolehan atau keuntungan, baik berupa uang atau
lainnya. Sehingga tidak salah apabila ada yang memberikan definisi
korupsi dengan ungkapan “Akhdul Amwal Hukumah Bil Bathil” apapun
istilahnya, korupsi laksana dunia hantu dalam kehidupan manusia. Mengapa
saya mengungkapkan dunia hantu, sebab dunia hantu merupakan dunia yang
tidak tampak wujut jasadnya, akan tetapi hanya dapat dirasakan
dampaknya. Dunia hantu merupakan sebuah ilusi-fantasi yang
mengimplikasikan terhadap dunia ketidak jujuran, kebohongan, dan
hilangnya sebuah kepercayaan.[2]
A. Istilah Korupsi
Secara garis besar korupsi merupakan persoalan klasik yang telah lama
ada. Sejarawan Onghokham Menyebutkan bahwa korupsi ada ketiak orang
mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum, dan
pemisahan tersebut tidak ada dalam konsep kekuasaan tradisoanal. Dengan
kata lain korupsi mulai dikenal saat sistem politik modern dikenal.
Konsepsi mengenai korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara
kepentigan keuangan pribadi dari seorang pejabat Negara dan keuangan
jabatannya. Prinsip ini muncul dibarat setelah adanya revolusi perancis
dan dinegara-negara Anglo-sakson, misalnya Ingris dan amerika serikat
yang timbul pada abad ke 19. Semenjak itulah penyalahgunaan wewenang
demi kepentingan pribadi, khususnya dalam soal keuangan dianggap sebagai
tindakan korupsi.[3]
Demokrasi yang muncul di akhir abad ke 18 dibarat melihat pejabat
sebagai orang yang diberi wewenang, sebab dipercaya oleh public.
Penyalahgunaan dari kepercayaan tersebut dilihat sebagai penghianatan
terhadap kepercayaan yang diberikan. Konsep demokrasi sendiri
mensyaratkan suatu sistem yang dibentuk oleh rakyat, dan dikelolo oleh
rakyat dan diperuntungkan oleh rakyat.
Konsep politik yang semacam itu sudah barang tentu berbeda dengan apa
yang ada pada konsep kekuasaan tradisional. Dalam konsep kekuasaan
tradisional raja atau pemimpin merupakan Negara itu sendiri. Ia tidak
mengenal pemisahan antara raja dengan Negara yang dipimpinnya. Seorang
raja atau pemimpin dapat saja menerima upeti dari bawahannya atau raja
menggunakan kekuasaan atau kekayaan Negara guna kepentingan pribadi atau
keluarganya. Perbuatan tersebtu tidak dianggap sebagai korupsi,
kekuasaan pilitik yang ada ditangan raja bukan berasal dari rakyat dan
rakyat sendiri menganggap wajar apabila seorang raja memperoleh manfaat
pribadi dari kekuasaanya.[4]
Adapun pengertian korupsi dalam arti modern baru terjadi apabila
terdapat konsepsi dan pengaturan pemisahan keuangan pribadi, sebab
seorang raja tradisional tidak dianggap sebagai koruptor apabila
menggunakan uang Negara, karena raja adalah Negara itu sendiri. Akan
tetapi secara tidak disadari sebenarnya konsepsi mengenai anti korupsi
sudah ada sejak lama, bahkan sebelum pemisahan kekuasaan politik secara
modern dikenal. Justru dimana tidak adanya pemisahan antara keuangan
dari raja atau pejabat Negara dengan Negara, hal tersebut yang
memunculkan kosepsi anti korupsi. Dengan demikian korupsi dapat
didefinisikan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan Negara (dalam
konsep modern) yang melayani kepentingan umum untuk kepentingan pribadi
atau perindividu. Akan tetapi praktek korupsi sendiri seperti halnya
suap menyuap sering ditemui ditengah masyarakat tanpa harus melibatkan
hubungan Negara. Istilah korupsi data pula mengacu pada pemakaian dana
pemerintah untuk tujuan pribadi.
Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional,
akan tetapi menyangkut pula terhadap korupsi politik dan administratif.
Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menyras
pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing)
memakai sumber pemerintah, keduduka, martabat, status, atau
kewenangannya yang resmi untuk keuntungan pribadi dapat pula
dikategorikan melakukan tindakan korupsi.[5]
B. Sangsi tindak pidana Korupsi Dalam Perspektif Islam
Islam sebagai sistem nilai memegang peranan penting untuk memberikan
pencerahan nila, penyadaran moral, perbaikan mental atau penyempurnaan
akhlak dengan memanfaatkan potensi baik setiap individu, yaitu hati
nurani. Lebih jauh islam tidak hanya berkomitmen dengan upaya pensalehan
individu, akan tetapi jungan pensalehan social. Dalam pensalehan social
ini islam mengembangkan semangat untuk mengubah kemungkaran, semangat
saling mengingatkan, dan saling menasehati. Pada dasarnya islam
mengembangkan semongat control social. Dalam bentuk lain, islam juga
mengembangkan bentuk peraturan perundangan yang tegas, sistim yang
mengembangkan bentuk peraturan perundangan yang tegas, sistem pengawasan
administrative dan managerial yang ketat. Oleh sebab itu dalam
memberikan dan menetapkan hukuman bagi pelaku korupsi seharusnya tidak
pandang bulu, apakah ia adalah seorang pejabat ataukah lainnya. Tujuan
hukuman tersebut adalah memberikan rasa jera guna menghentikan kejahatan
yang telah ia lakukan, sehingga dapat diciptakan rasa dama, dan rukun
dalam masyarakat.[6]
Korupsi merupakan perbuatan maksiat yang dilarang oleh syara’ meskipun
nash tidak menjelaskan had atau kifarahnya. Akan tetapi pelaku korupsi
dikenakan hukuman ta’zir atas kemaksiatan tersebut. Perbuatan maksiat
mempunyai beberapa kemiripan, diantaranya ialah mengkhianati janji,
menipu, sumpah palsu, dan lain sebagainya. Maka perbuatan tersebtu
termsuk dalam jarimah ta’zir yang penting. Sebagaimana yang terdapat
dalam hadis nabi yang diriwayatkan oelh ahmad dan tirmizy, yang artinya :
Diriwayatkan oleh Jabir RA dari nabi SAW, Nabi bersabda : Tidak ada
(hukuman) potong tangan bagi pengkhianat, perampok dan perampas/pencopet. (HR.Ahmad dan Tirmizy).
Sebagai aturan pokok islam membolehkan menjatuhkan hukuan ta’zir atas
perbuatan maksiat apabila dikehendaki oleh kepentingan umum, artinya
perbuatan-perbuatan dan keadaan yang dapat dijatuhi hukuman ta’zir tidak
mungkin ditentukan hukumannya sebelumnya, sebab hal tersebut tergantung
pada sifat-sifat tertentu, dan apabila sifat tersebut tidak ada maka
perbuatan tersebut tidak lagi dilarang dan tidak dikenakan hukuman.
Sifat tersebut merugikan kepentingan dan ketertiban umum, dan apabila
perbuatan tersebtu telah dibuktikan didepan pengadilan maka hakim tidak
boleh membebaskannya, melainkan harus menjatuhkan hukuman ta’zir yang
sesuai untuknya. Perjatuhan hukuman ta’zir untuk kepentingan dan
ketertiban umum ini merujuk terhadap perbuatan rasulullah saw, dimana ia
pernah menahan seorang laki-laki yang dituduh mencuri unta setelah
diketahui buktinya ia tidak mencurinya, maka nabi membebaskannya.[7]
Syariat islam sendiri tidak menentukan macam-macam hukuman untuk ta’zir,
akan tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dimulai dari hukuman
yang seringan-ringannya, seperti nasehat, ancaman, sampai hukuman yang
seberat-beratnya.
Penerapan sepenuhnya diserahkan terhadap hakim (penguasa), dengan
kewenagan yang dimilikinya, ia dapat menetapkan hukuman yang sesuai
dengan kadar kejahatan dan keadaan pelakunya, dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan umum islam dalam menjatuhkan hukuman yaitu:
- Tujuan penjatuhan hukuman, yaitu menjaga dan memelihara kepentingan umum.
- Efektifita hukuman dalam menghadapi korupsi tanpa harus merendahkan martabat pelakunya.
- Sepadan dengan kejahatannya sehingga terasa adil.
- Tanpa ada pilih kasih, yaitu semua sama kedudukannya didepan hokum.[8]
Seorang hakim dapat mempertimbangkan dan menganalisa bedat dan ringannya
perbuatan yang dilakukan oleh pelaku korupsi. Kejahatan yang telah
ditetapkan sanksi hukuman oleh nash, seorang hakim tidak punya pilihan
lain kecuali menerapkannya. Meskpun sangsi hukuman bagi pelaku korupsi
tidak dijelaskan dalam nash secara tegas, akan tetapi perampasan dan
penghianatan dapat diqiyaskan sebagai penggelapan dan korupsi.
1. pengertian dan jenis-jenis ta’zir
Ta’zir ialah hukuman terhadap terpidana yang tidak ditentukan secara
tegas bentuk sangsinya didalam nash. Hukuman ini dijatuhkan unutk
memberikan pelajaran terhadap terpidana agar ia tidak mengulangi
kejahatan yang pernah ia lakukan, jadi jenis hukumannya disebut dengan
Uqubah Mukhayyarah (hukuman pilihan). Jarimah sendiri yang dikenal
dengan hukuman ta’zir ada dua jenis yaitu :
- jarimah yang dikenakan hukuman had dan qishash, apabila tidak terpenuhi salah satu rukunnya seperti pada jarimah pencurian dihukum ta’zir bagi orang yang mencuri barang yang tidak disimpan dengan baik, atau bagi orang yang mencuri barang yang tidak mencapai nishab pecurian. Pada jarimah zina dihuk ta’zir bagi yang menyetubuhi pada selain pada oral sex. Pada jarimah qadzaf dihukum ta’zir bagi yang mengqadzaf dengan tuduhan berciuman bukan berzina.
- Jarimah yang tidak dikenakan hukuman had dan qishash, seperti jarimah penghianatan terhadap sesuatu amanah yang telah diberikan jarimah pembakaran, suap dan lain sebagainya.[9]
2. Penerapan Ta’zir bagi pelaku korupsi
Hukuman ta’zir dapat diterapkan kepada pelaku korupsi. Dapat diketahui
bahwa korupsi termasuk dalam salah satu jarimah yang tidak disebutkan
oleh nash secara tegas, oleh sebab itu ia tidak termasuk dalam jenis
jarimah yang hukumannya adalah had dan qishash. Korupsi sama halnya
seperti hokum Ghasab, meskipun harta yang dihasikan sipelaku korupsi
melebihi dari nashab harta curian yang hukumannya potong tangan. Tidak
bisa disamakan dengan hukuman terhadap pecuri yaitu potong tangan, hal
ini disebabkan oleh masuknya syubhat. Akan tetapi disamakan atau
diqiyaskan pada hukuman pencurian yang berupa pencurian pengambilan uang
hasil curian.
Dalam jarimah sendiri korupsi ada tiga unsure yang dapat dijadikan
pertimbangan bagi hakim dalam menentukan besar hukuman, yaitu :
1) Perampasan harta orang lain
2) Penghianatan atau penyalahgunaan wewenang
3) Kerjasama atau kongkalikong dalam kejahatan
Ketiga unsur tersebut telah jelas dilarang dalam syari’at islam.
Selanjutnya tergantung kepada kebijaksanaan akal sehat keyakinan dan
rasa keadilan hakim yang didasarkan pada rasa keadilan masyarakat untuk
menentukan hukuman bagi pelaku korupsi. Meskipun seorang hakim diberi
kebebasan untuk mengenakan ta’zir, akan tetapi dalam menentukan hukuman
seorang hakim hendaknya memperhatikan ketentuan umum perberian sangsi
dalam hokum pidana islam yaitu :
- Hukuman hanya dilimpahkan kepada orang yang berbuat jarimah, tidak boleh orang yang tidak berbuat jahat dikenai hukuman.
- Adaya kesengajaan seseorang dihukum karena kejahatan apabila ada unsur kesengajaan untuk berbuat jahat, tidak ada kesengajaan berarti karena kelalaian, salah, atau lupa. Meskipun demian karena kelalaian salah atau lupa tetap diberikan hukuman, meskipun bukan hukuman kejahatan, melainkan untuk kemaslahatan yang bersifat mendidik.
- Hukuman hanya akan dijatuhkan apabila kejahatan tersebut secara meyakinkan telah diperbuatnya.
- Berhati-hati dalam menentukan hukuman, membiarkan tidak dihukum dan menyerahkannya kepada allah apabila tidak cukum bukti. [11]
Batas minimal hukuman ta’zil tidak dapat ditentukan, akan tetapi adalah
semua hukuman menyakitkan bagi manusia, bisa berupa perkataan, tindakan
atau diasingkan. Terkadang seseorang dihukum ta’zir dengan memberinya
nasehat atau teguran, terkadang juga seorang dihukum ta’zir dengan
mengusirnya dengan meninggalkannya sehingga ia bertaubat. Uraian
tersebut menegaskan bahwa hukuman jarimah ta’zir sangatlah bervariasi
mulai dari pemberian teguran sampai pada pemenjaraan dan pengasingan.
Mengenai Uqubah sendiri dibagi menjadi dua yaitu :
- Pidana atas jiwa (Al-Uqubah Al-Nafsiyah), yaitu hukuman yang berkaitan dengan kejiwaan seseorang, seperti peringatan dan ancaman.
- Pidana atas badan (Al-Uqubah Al-Badaniyyah), yaitu hukuman yang dikenakan pada bagan manusia seperti hukuman mati atau hukuman dera, dan lain sebagainya.
- Pidana atas harta (Al-Uqubah Al-Maliyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan atas harta kekayaan seseorang, seperti diyat, denda, dan perampasan.
- Pidana atas kemerdekaan, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada kemerdekaan manusia seperti hukuman pengasingan (Al-Hasb) atau penjara (Al-Sijn).
No comments :
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan baik dan sopan, komentar anda berharga bagi saya...oke browww