Makalah Relasi Negara | Agama dan Pendidikan
(Gambaran Umum Sejarah Perkembangan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia dalam Perspektif Politik)
PENDAHULUAN
Kajian berikut mencoba untuk melihat perkembangan pembaharuan pendidikan
Islam di Indonesia dengan melibatkan pendekatan politik di samping
pendekatan kesejarahan. Pendekatan politik yang dimaksud lebih berupa
asumsi-asumsi sederhana seputar mitos hubungan antara kekuasaan (negara)
dengan agama. Di bagian lain relasi antara keduanya coba dilihat pada
bidang pendidikan.[1] Implikasi relasi negara-agama dengan aroma politik
yang kental terhadap penyelenggaraan pendidikan Islam yang
dikomparasikan dengan realitas kesejarahan, dengan menyuguhkan beberapa
argumen pendukung, diharapkan mampu memberi sedikit gambaran tentang
sejarah perkembangan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.
PEMBAHASAN
Relasi Negara | Agama dan Pendidikan
A. Pendekatan Kesejarahan
Secara historis, kehadiran lembaga pendidikan adalah salah satu ciri
utama dari suatu tahap penting perkembangan Islam di tanah air. Ini
ditandai dari kebangkitan tradisi intelektual Islam di abad ke-17,
khususnya yang berbasis di kerajaan Aceh, berlangsung sejalan dengan
berdirinya berbagai lembaga pendidikan Islam di lingkungan kerajaan.
Dari lembaga inilah karya-karya para ulama tentang Islam sebagai wujud
konseptualisasi Islam dan Budaya Melayu-Nusantara muncul. Pada titik
ini, tidak dapat dinafikan bahwa maju mundurnya lembaga pendidikan Islam
bisa menjadi satu indikator penting dalam proses Islamisasi masyarakat
dan transmisi ilmu pengetahuan.
Azyumardi membuktikan bahwa kajian-kajian historis menunjukkan bahwa
sampai paruh kedua abad ke-19, pendidikan Islam dalam bentuk masjid dan
pesantren, tetap merupakan lembaga pendidikan yang dominan bagi
masyarakat Indonesia. Pergeseran mulai terjadi ketika mulai
diperkenalkan dengan model pendidikan yang telah dirancang berdasarkan
kebijakan Pemerintah Hindia Belanda untuk mempersiapkan kalangan pribumi
untuk mengisi jabatan-jabatan di kantor-kantor Pemerintah Hidia
Belanda. Dalam pada ini, pemberlakuan oleh Pemerintah Hindia Belanda
dapat di anggap sebagai awal dari dualisme sistem pendidikan bagi
masyarakat Indonesia.[2].
Harus digarisbawahi bahwa betapapun tetap berjalan sesuai dengan
karakter dan menjadi andalan masyarakat Muslim di tanah air, pendidikan
Islam tidak dapat diperlakukan secara statis dan monolitik. Sebab pada
saat yang sama, ketidakpuasan terhadap lembaga pendidikan Islam
tradisional model pesantren juga dirasakan oleh sebagian kalangan Muslim
sendiri. Karenanya kesadaran untuk mengembangkan orientasi pendidikan
Islam yang menyangkut masalah-masalah sosial, politik, dan ekonomi
menjadi perhatian serius. Dengan maraknya kebangkitan gerakan-gerakan
Islam modern di awal ke-20, juga persentuhan dengan pemikiran
kontemporer, telah mendorong dilakukannya penyesuaian-penyesuaian
kurikulum, kelembagaan, dan sistem pengajaran bagi pendidikan Islam.
Inilah tonggak utama bagi pendirian lembaga pendidikan Islam, dalam
bentuk madrasah, sebagai bentuk pembaharuan terhadap sistem pendidikan
tradisional yang memperkenalkan mata pelajaran umum dan didaktik-metodik
ala Belanda, di samping mata pelajaran agama.
Sebagai contoh dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh Abdullah Ahmad
di lembaga pendidikan Adabiyah dan Zaenuddin Labai el-Yunusi pada
madrasah Diniyah di Padang. Di lembaga-lembaga tersebut, di samping
pelajaran agama, juga di ajarkan ilmu-ilmu umum seperti membaca dan
menulis huruf latin, ilmu hitung sejarah dan ilmu bumi. Hal yang sama
terjadi di Yogyakarta dipelopori oleh Ahmad Dahlan di Yogyakarta dan
juga Jam’iyat al-Khair di Jakarta.
Sayangnya, dualisme pendidikan ini dalam perkembangannya berikutnya
menghasilkan orientasi dan wawasan masyarakat Indonesia yang terbelah
dengan karakter masing-masing. Imbasnya adalah munculnya kecenderungan
untuk lebih mengembangkan pola dan orientasi pendidikan yang pernah
dinikmati terutama ketika mereka menjadi policy-maker dalam bidang
pendidikan pada masa selanjutnya. Ini pada gilirannya bisa dilihat dari
kebijakan-kebijakan pendidikan pemerintah Orde Lama yang lebih
mementingkan pendidikan umum ketimbang pendidikan agama. Walaupun secara
parsial ada beberapa upaya untuk menjembatani dikotomi ini, seperti
yang pernah dilakukan oleh Kyai Fathurrahman Kafrawi dan Abdullah
Sigit[3], namun secara substansi lembaga pendidikan berbasis Islam
selalu kedodoran jika dihadapkan dengan lembaga pendidikan umum dilihat
dari aspek mutu maupun manajerial.
B. Pendekatan Politik
Secara politis, pada perkembangannya di masa pemerintahan Orde Baru
awal, dualisme -yang tadi disinggung pada uraian sebelumnya- juga bisa
dilihat sebagai refleksi dari pergumulan kekuatan politik; antara Islam
dan Nasionalisme.[4] Jadi, betapapun telah terjadi rekonsiliasi
ideologis dengan penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara, namun
pada prakteknya implikasi pergumulan ideologis ini terhadap dunia
pendidikan tetap sulit dihapuskan. Hal ini kemudian juga diperkuat
dengan sejarah panjang resistensi kaum muslimin terhadap sekolah umum
klasikal, yang mulanya dikembangkan oleh pemerintah Kolonial, yang
dicurigai sebagai counter terhadap pendidikan Islam. Karena itu
perkembangan kebijakan pemerintahan Orde Baru terhadap pendidikan Islam,
pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan dari pola politik Orde Baru vis a
vis Islam. .
Maksudnya adalah bahwa tingkat apresiasi pemerintah terhadap pendidikan
Islam mencerminkan sejauhmana tingkat dan pola hubungan politik negara
dan agama (Islam) itu sendiri. Di sini dapat dicermati bahwa dalam
situasi saat relasi Islam dan negara mengarah pada konflik,
kebijakan-kebijakan pemerintah cenderung membatasi dan bahkan mengancam
eksistensi pendidikan Islam. Hal ini dapat terlihat pada kasus perlakuan
pemerintah terhadap lembaga madrasah, terutama pada kebijakan
penyediaan dana anggaran penyelenggaraan pendidikan. Sebaliknya, dalam
hubungan antara Islam dan negara yang cukup akomodatif maka kebijakan
yang berkaitan dengan madrasah cenderung positif dan lentur. Dapat
dikatakan pula bahwa secara umum dunia pendidikan nasional pada awal
pemerintah Orde Baru Soeharto tidaklah mengalami perubahan yang cukup
mendasar. Hal ini tentu saja bisa dipahami mengingat bahwa konsolidasi
dan stabilisasi kehidupan sosial, politik dan ekonomi menjadi prioritas
utama dalam kacamata pemerintahan baru ini. Karena itu, sistem dualistik
pendidikan, yang membagi pendidikan umum di satu sisi dan pendidikan
agama di sisi lain, masih dianggap relevan sebagai pola pendidikan
nasional.
Namun bukan berarti hal ini menisbikan keinginan untuk mempersempit
jurang dualisme tadi. Beberapa kebijakan pemerintah seperti formalisasi
status sekolah swasta menjadi negeri dan strukturisasi sekolah agama
dengan penyeragaman kurikulum nyatanya memang diarahkan pada upaya
mengangkat citra pendidikan Islam. Hanya sayangnya betapapun kebijakan
ini kelihatan memberikan kesempatan yang cukup besar bagi pengembangan
pendidikan Islam namun pada prakteknya tetap menjadikan lembaga
pendidikan Islam sebagai yang dinomorduakan.[5]
Upaya formalisasi dan strukturisasi sebagaima yang digambarkan di atas,
selain sangat lambat juga memang dijalankan setengah hati. Salah satu
faktor yang terpenting penyebab hal itu sebenarnya tertumpu pada sikap
pemerintah yang mendua dalam memperlakukan pendidikan Islam itu sendiri.
Karena itu reaksi kaum muslimin pada waktu itu atas kebijakan-kebijakan
pendidikan tersebut pada dasarnya dapat dipahami. Karena apa yang
dituntut oleh sebagian besar pendidik muslim terhadap pemerintah adalah
sikap yang proporsional dalam pengembangan pendidikan agama di tanah
air. Karena itu, seyogyanya dilakukan pemerintah bukan substitusi tapi
pembinaan mutu pendidikan Islam secara terus menerus.
Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yakni Kementerian Agama,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Dalam Negeri pada
tahun 1975, juga pada gilirannya diikuti dengan pemberlakuan
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pada tahun 1989 dan
penerapan kurikulum 1994, merupakan jawaban pemerintah terhadap
keinginan dan kecemasan para pendidik muslim tentang masa depan
pendidikan Islam, terutama madrasah. Dengan kata lain,
kebijakan-kebijakan tersebut merupakan model solusi yang di satu sisi
memberikan pengakuan eksistensi pendidikan Islam, namun di sisi lain
tetap memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada
pembentukan sistem pendidikan nasional yang lebih integratif.
Dengan ungkapan lain, usaha tersebut harus dibaca sebagai
“pengintegrasian pendidikan tradisional ke dalam sistem pendidikan
modern.” Asumsinya adalah dengan berintegrasinya ke dalam sistem
pendidikan nasional, maka lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah,
yang selama ini masih dpandang konservatif dan tradisional, dapat
menyerap unsur-unsur pendidikan modern yang terdapat dalam sistem
pendidikan nasional. Pada titik ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
upaya pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia secara formal
kelembagaan telah final, dan dengan integrasinya ke dalam sistem
pendidikan nasional adalah suatu kewajaran bahkan keharusan bagi
pendidikan Islam. Yang tersisa kini hanyalah bagaimana menindaklanjuti
perkembangan tersebut dengan bijak dan penuh perhitungan yang rapi, di
mana tujuan akhirnya diarahkan pada usaha peningkatan kualitas dan
kuantitas penyelenggaraan pendidikan Islam.
Daftar Pustaka
- Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta : Logos, 1999).
- Dhofir, Zamakhsari Tradition and Change in Indonesian Islamic Education (Jakarta : Office of Religious Research and Development, Ministry of Religious Affairs of The Republic Indonesia, 1995).
- Maksum, “Transformasi Pendidikan Islam Pada Lembaga Pendidikan Depag pada Masa Orde Baru (Studi terhadap Kelembagaan Madrasah)” disertasi pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,1998.
- Jurnal Madrasah, vol. 1, no. 3, 1997.
No comments :
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan baik dan sopan, komentar anda berharga bagi saya...oke browww