Silahkan Cari yang anda inginkan

Wednesday 27 March 2013

Tawuran Pelajar: Tunjuk Jari, Tepuk Dada Sendiri


<img src="tawuran seram.jpg" alt="tawuran pelajar by konsultankreatif">



Saat itu saya hanya sanggup berdoa, pasrah dipukuli, di timpa batu, di injak – injak...

Tulisan ini tidak bermaksud latah ikutan para pakar yang mengulas soal tawuran anak sekolah, khususnya peristiwa meninggalnya Alawy siswa kelas x SMA 6 akibat tawuran SMA 70 dengan SMA 6. Bukan juga karena saya alumni dari SMA 70 lantas merasa paling tahu, cuma saya rasanya gerah juga dengan komentator dan ulasan yang asal bunyi, kelihatan tidak mendalami akar dan pokok permasalahan yang sebenarnya terjadi.

Sedikit flashback ke tahun 1988, saat saya baru saja memakai seragam baru putih abu – abu. Bagi remaja di Jakarta, masuk SMA 70 jelas sebuah kebanggaan. Sekolah favorit gitu lho. NEM nya harus diatas 41, dari SMP saya saja Cuma tiga orang termasuk saya yang lolos. Hari pertama masuk sekolah, berangkat naik bis S 74 dari rumah saya di Tanah kusir, turun di halte bulungan depan kantor kejaksaan. Saya pastikan diri saya berpenampilan serapih mungkin. Bibir pun entah kenapa tidak bosan melebar manis. Makin dekat ke pintu gerbang sekolah, makin lebar saja ini bibir tersenyum.
Tiba – tiba mendadak sontak, keadaan berubah 180 derajat. Entah bagaimana awalnya, kerah baju baru saya kusut direngut, disusul bentakan nyaring, “Ngapain lo cengar cengir, nantangin gua? Mau jadi jagoan?” Plak!! Kepala terhuyung karena di keplak. Welcome to the jungle! Alhasil saya bisa lolos dari trouble maker, kakak kelas saya sendiri setelah dipaksa metraktir semangkuk mie ayam di kantin. Dan siang itu dengan perasaan masih shock, saya hanya minum es teh manis saat jam istirahat.
Persoalan ternyata tidak berhenti disitu. Setelah habis waktu keluar main, ketika baru duduk dibangku, datanglah prahara kedua. Segerombolan anak Laskar julukan angkatan diatas kami, masuk kelas dan mulai menebar teror. Mulai dari bentakan, cipratan ludah hingga tamparan mendarat di pipi semua siswa laki – laki. Teror baru berakhir setelah guru datang.
Singkat cerita, setelah bubaran sekolah, saya berjalan pulang menuju halte bulungan dan ketika ada bis jurusan Rempoa, saya langsung naik dan berdiri ditengah. Belum habis saya mengingat kejadian barusan, tiba – tiba saya menyadari bahwa saya sedang berada dalam situasi yang membahayakan. Benar saja, salah satu penumpang di bis ternyata siswa STM Penerbangan. Ketika bis memasuki kawasan taman puring, saya melihat ratusan siswa STM berjajar dan bergerombol. Saya hanya ingat waktu itu, anak STM yang ada di bis tadi berteriak memanggil kawan – kawannya diluar bahwa ada anak 70, yang tidak lain adalah saya. Bak serigala – srigala lapar, mereka berlompatan masuk ke dalam bis. Bisa ditebak apa yang terjadi, pukulan, sundutan rokok, tusukan obeng bertubi – tubi menghujami badan saya. Seragam baru saya berlumuran darah. Tidak puas sampai disitu, saya di seret dan ditendang keluar bis tanpa seorangpun berani melindungi saya. Bahkan sopir bis segera melarikan bisnya meninggalkan saya.
Saat itu saya hanya sanggup berdoa, pasrah dipukuli, di timpa batu, di injak – injak. Saya masih mendengar sayup – sayup teriakan seorang ibu, “ Sudah lah sudah, kasian itu anak, jangan – jangan sudah mati.” Ya betul bu, hari itu, hari pertama saya masuk sekolah, saya sudah mati rasa. Bukan sakit karena penganiayaan fisik yang saya rasakan waktu itu. Semenjak saat itu, misi saya berangkat sekolah bukan lagi untuk belajar. Pertanyaannya bukan lagi besok belajar apa, tapi besok anak STM mana yang harus saya hajar, yang harus merasakan penderitaan yang saya alami. Setelah dirawat tiga hari, saya sudah tidak tahan untuk segera berangkat ke sekolah. Bukan mau belajar, tapi membuat perhitungan. Demikian awal dari keterlibatan saya masuk ke lingkaran setan tradisi tawuran yang sama sekali tidak jelas.
Mungkin pengalaman saya termasuk sebab akibat yang ekstrim. Tapi ini bisa mewakili sebuah gambaran bahwa tawuran pelajar adalah produk rusak dari masyarakat yang sudah rusak. Lingkungan lah yang membuat remaja kita rusak. Kalau mau semua pihak berbesar hati, kerusakan mental dan prilaku remaja adalah buah dari sistem kehidupan sosial yang sudah rusak. Hukuman penjara seharusnya adalah langkah terakhir yang harus ditempuh setelah kita semua berupaya sungguh – sungguh untuk membenahi diri, memperbaiki keluarga dan seterusnya masyarakat yang lebih luas. Siapa saja pihak – pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal ini:
1. Ulama, pemuka agama dan organisasi keagamaan
Sudah saatnya para pemuka agama kembali ke khittah nya, menjalani kewajibannya untuk mendidik moral masyarakat. Kembalikan kharisma sebagai contoh umat dengan konsistensi antara ceramah, ucapan dan perbuatan. Agama jangan lagi dijadikan barang dagangan untuk kepentingan politik, kekuasaan dan segala sesuatu yg berorientasi materi. Pasang alarm peringatan diri, jika lingkungan masyarakat sudah lama terbengkalai, penuh dengan semak belukar kejahatan, pembiaran nafsu, perioritas mengejar keuntungan. Siapa lagi yang paling berwenang untuk mendidik umat kejalan kebenaran? Formula apa lagi yang paling tepat untuk memperbaiki masyarakat? Tidak lain tidak bukan, Pemuka agama dan ajaran agama itu sendiri. Orang pintar sudah banyak. Tapi apa yang terjadi? Semakin pintar masyarakat, semakin banyak kerusakan dan penyimpangan terjadi. Janganlah beku dan kaku dalam penerapan ajaran agama. Sudah saatnya nilai – nilai kebenaran dalam ajaran agama menjadi way of life. Keluarkanlah segala energi dan kreatifitas untuk membuat program – program pembinaan yang customize, to the point dan terukur. Ukurannya kan jelas. Jika kerusakan sudah berangsur membaik itulah tandanya. Kalau kerusakan makin menjadi – jadi? Masa Ulama ngga yakin kalau Tuhan menjadi Becking untuk urusan ini? No TW, no TS, no PS, TK, JH, LM atau inisial apapun yang bisa menandingi kekuasaan dan kehebatan Tuhan. Setuju pak Kyai?
2. Abdi Negara Dan Jajarannya
Sengaja saya tidak tulis pemerintah. Dalam hal ini tidak cukup dengan perintah – perintah, undang – undang, peraturan, hukuman, dsb. Yang diperlukan adalah pemegang amanah, abdi negara, abdi masyarakat. Apa gunanya ditunjuk dan dipilih jadi abdi negara kalau urusan anak sekolah tawuran saja tidak sanggup menyelesaikan. Apa gunanya anggaran pendidikan yang besar dan para pakar pendidikan dengan gaji besar kalau tidak sanggup menyelesaikan. Kegagalan terbesar justru jika pihak yang berwenang menganggap persoalan ini adalah persoalan ranting. Coba kita tanya guru Biologi, apakah buah tumbuh di batang? Di cabang? Yang pasti tumbuh diranting. Lalu apakah dengan demikian rantingnya di pangkas habis saja? Kalau begitu cara penangannya, habis sudah orang pintar jadi bodoh, orang bodoh jadi pintar. Kata guru biologi, buah yang masam dan busuk, bukan semata mata kesalahan ranting. Bukan buahnya yang disemprot obat. Apalagi dipangkas ranting. Untuk apa pohon yang besar, batangnya kokoh, cabangnya kuat, daunnya rimbun tapi tidak berbuah? Marilah dengan otoritas dan kewenangan yang ada, ditelusuri masalah ini sampai ke akar – akarnya. Ditilik juga faktor eksternalnya, lahannya, pupuknya, hamanya, faktor cuacanya, dan SWOT nya secara integral dan menyeluruh.
3. Masyarakat dan Lingkungan
Kalau kita simak dari cerita saya dipukuli dan diseret keluar bis, jelas masyarakat kita adalah masyarakat yang pengecut, apatis dan maunya selamat sendiri. Yang dipukuli satu orang anak umur 15 tahun, yang ngeroyok puluhan orang, Kemana waktu itu hati nurani dan jiwa membela kebenaran. Saya yakin kalau saja ada beberapa orang yang berani, tentu kejadian tidak bakalan seperti itu. Artinya apa? Kita sebagai masyarakat sudah kehilangan fungsi kita sebagai makhluk sosial. Kalau urusan kritik, masyarakat kita paling jago. Tapi giliran membela kebenaran, nanti dulu. Tunggu Superman datang dulu barangkali. Ulama dan pemerintah memang pemegang porsi terbesar dalam hal ini, tetapi apa gunanya jika masyarakatnya pun tidak bisa dididik, tidak mau berpartisipasi, maunya menuntut hak tanpa mau berkewajiban. Kewajiban utama, ya menjaga lingkungan tempat bermasyarakat kita sendiri seharusnya. Masyarakat juga terdiri dari berbagai profesi. Termasuk media. Kadang – kadang media juga membuat berita tanpa ada unsur didikannya. Yang penting heboh. Banyak pemberitaan yang justru membuat persoalan jadi simpang siur dan tidak fokus.
4. Orang Tua dan Keluarga
Orang tua mana yang tidak menginginkan anak yang soleh, anak yang baik, berbakti, pintar dan berprestasi? Tapi zaman sekarang pertanyaannya harus dibalik, Orang tua mana yang sudah sungguh – sungguh membuat harapan – harapan mulia tersebut mejadi kenyataan? Dari semua harapan baik tersebut, mungkin hanya urusan menjadi pintar dan berprestasi yang diupayakan. Selebihnya diserahkan kepada guru dan lingkungan. Belum lagi persoalan kita sendiri yang selalu memberi contoh pengajaran prilaku yang tidak baik. Belum lagi soal visi misi kehidupan kita yang terlalu sempit dan melulu soal kesuksesan hidup materi. Faktor orang tua dan keluarga menjadi faktor yang penting untuk mendidik anak – anak dan remaja kita menjadi anggota masyarakat yang baik. Ketika kita menyesali kesalahan yang mereka perbuatpun, seharusnya kita memajang cermin besar agar kita bisa mematut dan menilai diri dulu sebelum bertindak atas nama hukuman atau pelajaran bagi mereka.
5. Guru Dan Sekolah
Saya sengaja meletakkan guru dan sekolah sebagai penanggung jawab terakhir. Karena saya lihat, saat ini seakan akan merekalah unsur utama yang paling bertanggung jawab. Coba bayangkan, dengan waktu yang sangat terbatas, dibebani dengan target kurikulum dan mengelola siswa yang demikian banyak, apa mungkin semua tanggung jawab pendidikan dan moral remaja kita diberikan pada mereka? Jawabanya sama – sama kita tahu. Demikian sedikit cerita nostalgia masa SMA dan sedikit ulasan dari mantan pelaku tradisi tawuran pelajar di jakarta J

No comments :

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan baik dan sopan, komentar anda berharga bagi saya...oke browww

No comments :

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan baik dan sopan, komentar anda berharga bagi saya...oke browww

SMKN 1 BOJONGPICUNGSMKN 1 BOJONGPICUNGSMKN 1 BOJONGPICUNGSMKN 1 BOJONGPICUNGSMKN 1 BOJONGPICUNGSMKN 1 BOJONGPICUNGSMKN 1 BOJONGPICUNGSMKN 1 BOJONGPICUNGSMKN 1 BOJONGPICUNGSMKN 1 BOJONGPICUNGSMKN 1 BOJONGPICUNGSMKN 1 BOJONGPICUNGSMKN 1 BOJONGPICUNGSMKN 1 BOJONGPICUNGSMKN 1 BOJONGPICUNGSMKN 1 BOJONGPICUNGSMKN 1 BOJONGPICUNGSMKN 1 BOJONGPICUNGSMKN 1 BOJONGPICUNGSMKN 1 BOJONGPICUNGSMKN 1 BOJONGPICUNG